PendahuluanPenelitian
agama telah dilakukan beberapa abad yang lalu namun hasil penelitiannya masih
dalam bentuk aktual atau perbuatan saja dan belum dijadikan sebagi sebuah ilmu.
Setelah bertambahnya gejala-gejala agama yang berbentuk sosial dan budaya,
ternyata penelitian dapat dijadikan sebagai ilmu yang khusus dalam rangka untuk
menyelidiki gejala-gejala agama tersebut. Perkembangan penelitian agama pada
saat ini sangatlah pesat karena tuntutan-tuntutan kehidupan sosial yang selalu
mengalami perubahan. Kajian-kajian agama memerlukan relevansidari kehidupan
sosial berlangsung.[1]Permasalahan-permasalahan
seperti inilah yang mendasari perkembangan penelitian-penelitian agama guna
mencari relevansi kehidupan sosial dan agama. Dewasa ini penelitian agama diisi
dengan penjelasan mengenai penelitian agama dalam konteks penelitian pada
umumnya, elaborasi mengenai penelitian agam dan penelitian keagamaan serta
konstruksi teori penelitian keagamaan, dari penjelasan singkat tersebut maka
pemakalah perlu mengkaji secara rinci trhadap penjelasan tersebut. Secara garis
besar, pembahasan penelitian agama dan model-modelnya dibagi menjadi dua, yakni
penelitian agama dan model-model penelitian agama.Penelitian
agama diisi dengan penjelasan mengenai kedudukan penelitian agama dalam
kompleks penelitian pada umumnya. Elaborasi mengenai penelitian agama( research on religious), penelitian
keagamaan(religious research) dan
konstruksi teori penelitian keagamaan.Pada
makalah ini kami selaku pemakalah hanya akan menjelaskan model-model penelitian
agama sepeerti; model penelitian tafsir, model penelitian hadits, model
penelitian filsafat islam, dan model penelitian pendidikan islam yang diteliti
oleh para peneliti bidang tersebut dengan pendekatan-pendekatan serta
metode-metode yang digunakan dalam penelitiannya. PembahasanA. Model
Peneltian Tafsir
1. Pengertian
Model Penelitian Tafsir
Kata “model” berarti contoh, acuan, ragam, atau
macam. Sedangkan penelitian berarti pemerikasaan, penyelidikan yang dilakukan
dengan berbagai cara seksama dengan tujuan mencari kebenaran-kebenaran yang
disimpulkan melalui data-data yang terkumpul. Penelitian adalah suatu kegiatan
yang dilakukan secara sistematis untuk mengumpulkan, mengelola, dan
menyimpulkan data dengan menggunakan metode dan teknik tertentu dalam rangka
mencari jawaban atas permasalahan yang dihadapi. Para ahli menterjemahkan research sebagai riset itu sendiri
berasal dari kata “re” yang berarti kembali dan “ to search” yang berarti
mencari. Dengan demikian arti sebenarnya dari riset adalah mencari kembali. [2] Adapun kata
tafsir berasal dari kata bahasa Arab Fassara, yufassiru, tafsiran, yang berarti
penjelasan, pemahaman, dan rincian. Menurut Abudin Nata, tafsir memiliki tiga ciri
utama, yaitu; pertama, dari segi obyek pembahsannya al-quran. Kedua, dilihat
dari segi tujuannya adalah untuk menjelaskan, menerangkan, menyikap kendungan
al-Quran, sehingga dapat dijumpai hikmah, hukum, ketetapan, dan ajaran yang
terkandung didalamya. Ketiga, dilihat dari segi sifat dan kedudukannya adalah
hasil penalaran, kajian dan ijtihad para mufassir dan yang didasarkan pada kesanggupan dan
kemampuan yang dimilikinya, sehingga suatu saat dapat ditinjau kembali.[3]Menurut Az-Zarkasyi Tafsir adalah suatu pengetahuan
yang dengan pengetahuan itu dapat dipahamkan kitabullah yang diturunkan kepada
Nabi-Nya Muhammad SAW, menjelaskan maksud-maksudnya, mengeluarkan hukum-hukumnya
dan hikmah-hikmahnya. [4]Dengan demikian, secara singkat dapat diambil suatu
pengertian bahwa yang dimaksud dengan model penelitian tafsir adalah suatu
contoh, ragam, acuan, atau macam dari penyelidikan secara seksama terhadap
penafsiran al-Quran yang pernah dilalukan generasi terdahulu untuk diketahui
secar pasti tentang hal-hal yang berkaitan dengannya.Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwasanya, model penelitian tafsir adalah ragam penelitian yang dilakukan
secara ilmiah, sistematis, serta seksama terhadap penafsiran al-quran yang
pernah dilakukan oelh orang-orang terdahulu hingga sekarang untuk mengetahui
atau memahami secra hakiki atau pasti tentang hal-hal yang masih dalam konteks
pembahasan yang terdapat di dalam Al-Quran dengan menggunakan pendeketan
pendeketan serta metode-metode dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quaran seperti;
metode ijmaly, metode muqarin, metode mawadhu’i. Seperti model penelitian
tafsir Quraish Shihab, asy-Syarbashi, Muhammad al-Ghazali.2. Latar
belakang penelitian Tafsir
Dalam tradisi keilmuan umat islam, penafsiran
al-Quran termasuk yang paling tua usianya dibandingkan dengan kegiatan ilmiah
lainnya. Pada saat al-Quran diturunkan lima belas abad yang lalu, Rasulullah
SAW yang berfungsi sebagai mubayyin (
pemberi penjelas ) telah menjalaskan arti dan kandungan al-Quran kepada para
sahabatnya, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau sama artinya.
Keadaan ini berlangsug sampai dengan wafatnya Rasulullah SAW.[5]Jika pada masa Rasullah SAW masih hidup semua
persoalan dikembalikan kepada beliau, maka setalah beliau wafat kondisinya
menjadi berbeda. Tidak ada lagi tempat bertanya langsung bagi para sahabat,
sehingga mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai
kemampuan seperti, Ali bin Abi Thalib, Ibn ‘Abas bin Ka’ab dan Ibn Mas’ud.[6]Para tokoh tafsir dari kalangan para sahabat yang
telah disebutkan diatas mempunyai murid-murid dari para tabi’in khususnya
dikota-kota tempat mereka tinggal, sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru
dikalangan tabi’in. Misalnya, Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, dimekah yang
ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka’ab dan Al-Hasan Al-Bashriy, Amir
al-Sya’bi di Irak yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.[7]Berakhirnya masa tabi’in, sekitar 150 Hijriyah, yang
merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir. Pada periode ini,
hadist-hadist sudah berkembang dengan sangat pesat dan banyak bermunculan
hadist palsu ditengah-tengah masyarakat. Sementara itu, persolan umat semakin
berkembang seiring dengan perubahan dan tuntutan kemajuan zaman. Kondisi ini
yang semakin mendorong berkembangnya tafsir al-Quran. Tafsir berkembang menjadi
disiplin ilmu yang berdiri sendiri, terpisah dari hadist. Pada masa itu, kajian
tafsir yang membahas seluruh ayat al-Quran ditulis dan disusun sesuai dengan
susunan yang terdapat didalam al-Mushaf.[8] Pada mulanya, usaha penafsiran ayat-ayat al-Quran
berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas sangat terikat dengan kaidah-kaidah
bahsa serta arti-arti yang terkandung oleh satu kosa kata. Namun, seiring
dengan berkembangnya masyakat, maka semakin berkembang pula porsi peranan akal
atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran, sehingga bermuculan
kitab-kitab tafsir yang beraneka ragam coraknya.[9]Dapat ditarik kesimpulan bahwasanya yang
melatarbelakangi penelitian tafsir ialah wafatnya rasulullah yang memberikan
penjelasan arti dan kandungan al-Quran yang membuat para sahabat melakukan
ijitihadd untuk menafsirkan al-Quran sebagaimana yang dilakukan oleh Ali bin
Thalib serta adanya indikasi persoalan umat semakin berkembang seiring dengan
perubahan dan tuntutan kemajuan zaman.3. Macam-macam
Metode Penafsiran
Dalam ilmu tafsir, berkembang dua metode penafsiran terkenal,
yaitu tafsir bi al-Ma’tsur dan tafsir bi
al-Ra’yi. Tafsir bi al- Matsur adalah
metode menafsirkan al-Quran dengan dalil al-Quran itu sendiri, dengan hadits
Nabi, dengan pendapat sahabat, dengan perkataan para tabi’in yang menjelaskan
maksud Allah SWT dari nas-nas Al-Quran. Tokoh ahli tafsir terkemuka yang
menggunakan metode ini adalah Ibnu Jarir Ath-Thabary dengan karyanya yang
berjudul Jami’ Al Bayan fi Tafsir Al-quran.[10] Sementara metode tafsir bi al-Ra’yi adalah
penafsiran ayat-ayat Al quran berdasarkan ijtihad para mufasirnya dan
menjadiokan akal sebagai pendekatan ulama utama. Tokoh yang menggunakan metode
ini pada masa abbasiyyah adalah Abu bakar Asham (w.240 H ) dan Abu muslim
Muhammad bin Nashr Isfahany (w. 322 H).[11]Menurut Al Farmawi, metode tafsir bi Al-Ra’yi dapat
dibagi menjadi empat metode, yaitu[12]:a. Metode
Tahlily
Tafsir tahlily adalah
suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al Quran
dari seluruh aspeknya. Kelebihan metode ini, menurut Taufik Adnan amal, antara
lain adlah adanya potensi untuk memperkaya kata-kata melalui usaha penafsiran
terhadap kosa kata ayat, syair-syair kuno, dan kaidah-kaidah ilmu nahwu
walaupun disuatu sisi metode ini dinilai luas tetapi menyelesaikan pokok
bahasan karena sering kali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau
kelanjutannya pada ayat lain.b. Metode
Ijmaly
Metode
ijmaly atau disebut dengan metode global adalah cara menafsirkan ayat-ayat
al-Quran dengan menunjukkan kandungan makna pada suatu ayat secara global.
Dalam prakteknya, metode ini sering terintegrasi dengan metode tahlily,
sehingga seringkali metode ini tidak dibahas secara tersendiri. Dengan metode
ini seorang mufassir cukup menjelaskan kandungan makna dalam suatu ayat secara
garis besar saja.[13]c. Metode
Muqarin
Metode
muqarin adalah suatu metode tafsir al-Quran yang dilakukan dengan cara
membandingkan ayat al-Quran yang satu dengan lainnya, yaitu ayat-ayat yang
mempunyai kemiripan redaksi dalam dua atau lebih kasus yang berbeda, atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk
masalah atau kasus yang sama atau diduga sama, atau membandingkan ayat-ayat
al-Quran dengan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw., yang tampak bertentangan, serta
membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran al-Quran.[14]d. Metode
mawadhu’i
Metode mawadhu’I adalah cara menafsirkan
al-Quran dengan menghimpun ayat-ayat yang mempunyai maksud yang sama atau
ayat-ayat yang membicrakan tentang topik yang sama dan menyusunnya berdasarkan
kronologi serta sebab-sebab turunnya ayat tersebut.Salah satu pesan Ali bin Abi Thalib: “Ajaklah
al-Quran berbicara atau biarkan ia menguraikan maksudnya”. Pesan ini antara
lain mengharuskan penafsiran merujuk kepada al-Quran dalam rangka memahami
kandungannya. Dari sini lahir metode maudlu’ iy dimana mufasirnya berupaya
menghimpun ayat-ayat al-Quran dari berbagai surat yang berkaitan dengan
persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian penafsir membahas dan
menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang
utuh.[15] Dapat disimpulkan bahwasanya dari
keempat metode ini diantaranya mempunyai kelebihan dan kekurangan
masing-masing, misalnya metode tahlily dapat mencakup semua aspek dalam
kandungan ayat-ayat al-Quran tetapi penafsiranya lebih cenderungsecara
konseptual tidak langsung kepada permasalahan yang dihadapi. Sedangkan metode
ijmaly ia hanya membahas secara universal ayat-ayat dalam nas al-Quran atau
dalam artian lain seorang mufassir hanya menjelsakan makna kandungan ayat
secara garis besarnya saja. Dalam metode muqorin penafsiran ayat-ayat al-Quran
lebih cenderung dibandingkan dengan penafsiran ayat-ayat al-Quran diantara para
mufassir, misalnya Quraish shihab yang pernah meneliti tafsir dari Muhammad abduh.
Sedangkan metode mawadhu’i menfsirkan ayat-ayat al-Quran dengan menghimpun
makna ayat yang sama atau dengan topik yang sama dan disusun berdasarkan
kronologi asbabun nuzul ayat tersebut.4. Model-model
Penelitian Tafsir
Dalam kajian kepustakaan dapat dijumpai berbagai
hasil penelitian para pakar al-Quran terhadap produk tafsir yang dilakukan
generasi terdahulu. Masing-masing peneliti telah mengembangkan model-model
penelitian tafsir tersebut lengkap dangan hasil-hasilnya.[16] Berikut
ini akan kita kemukakan beberapa model penafsiran al-Quran yang dilakukan para
ulama tafsir sebagai berikut:[17]a. Model
Quraish Shihab
H.M
Quraish Shihab (lahir th. 1944)- pakar di bidang tafsir dan hadis se-Asia
Tenggara-, telah banyak melakukan penelitian terhadap berbagai karya ulama
terdahulu di bidang tafsir. Ia misalnya, telah meneliti tafsir karangan
Muhammad Abduh dan H. Rasyid Ridha dengan judul Studi Kritis Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
yang telah diterbitkan dalam bentuk buku oleh pustaka Hidayah pada tahun 1994.
Model penelitian tafsir yang dikembangkan oleh H.M Quraish Shihab lebih banyak
bersifat eksploratif, deskriptif, analitis, dan perbandingan.[18]Hasil
penelitian H.M Quraish Shihab terhadap Tafsir al- Manar Muhammad Abduh,
misalnya menyatakan bahwa Syaikh Muhammad Abduh (1849-1909) adalah salah
seorang ahli tafsir yang banyak mengandalkan akal, menganut prinsip tidak
menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya yang tidak dijangkau oleh pikiran
manusia, tidak pula ayat-ayat yang samara tau tidak terperinci dalam al-Quran.[19]Selanjutnya
dengan tidak memfokuskan pada tokoh tertentu, Quraish Shihab telah meneliti
hamper seluruh karya tafsir yang dilakukan para ulama terdahulu. Dari
penelitian tersebut dihasilkan beberapa kesimpulan yang berkenaan dengan
tafsir. Antara lain tentang: (1) periodesasi pertumbuhan dan perkembangan
tafsir, (2) corak-corak penafsiran, (3) macam-macam metode penafsiran al-Quran,
(4) syarat-syarat dalam menafsirkan al-Quran, (5) hubungan tafsir modernisasi.[20]Berdasarkan
hasil penelitiannya, Quraish Shihab mengatakan bahwa corak-corak penafsiran
yang dikenal selama ini antara lain : (a) corak sastra bahasa, (b) corak
filsfat dan teologi, (c) corak penafsiran ilmiah, (d) corak fiqih dan hokum,
(e) corak tasawuf, (f) corak sastra budaya kemasyarakatan.[21]b. Model Ahmad Al- Syarbashi
Ahmad ays-Syarbashi melakukan penelitian
tentang tafsir pada tahun 1985 dengan menggunaan metode deskriptif, eksploratif
, dan analisis. Hasil penelitiannya mencangkup tiga bidang: pertama, mengenai
sejarah penafsiran al-Quran yang dibagi kedalan tafsir pada masa sahabat Nabi
Kedua, mengenai corak tafsir, yaitu tafsir ilmiah, tafsir sufi, dan tafsir
politik. Ketiga, meneganai gerakan pembaruan di bidang tafsir.[22]c. Muhammad al-Ghazali
Muhammad al-Ghazali, seorang ulama dari
Mesir, melakukan penelitian tafsir yang bercorak eksploratif, deskriptif, dan
analitis berdasarkan pada kitab-kitab tafsir yang ditulis ulama-ulama
terdahulu. Salah satu penelitian al-Ghazali adalah buku yang berjudul Berdialog dengan al-Quran. Dalam buku
tersebut jelaskan antara lain macam-macam metode memahami al-Quran, ayat-ayat kauniyah dalam al-Quran, serta peran
ilmu-ilm sosaial dan kemanusian al-quran.[23] Dapat disimpulkan bahwa ketiga model
penelitian tafsir dari para mufassir diatas corak penelitian mereka tidak jauh
berbeda yakni bersifat deskriptif, eksploratif, analitis, dan komparatif.
Sedangkan pendekatan yang dipakai yakni kajian kepustakaan, historis, dan
konservatif.B. Model-model
Penelitian Hadits
Sebagai mana halnya Al Quran, Al hadits pun telah
banyak diteliti oleh para ahli, bahkan dapat dikatakan penelitian terhadap Al
hadits lebih banyak kemungkinannya dibandingkan penelitian terhadap Al Quran.
Hal ini antara lain dilihat dari segi datangnya Al quran dan Al hadits berbeda.
Tidak ada satu ayat Al Quran pun yang dilakukan sebagai yang bukan berasal dari
Allah swt. Atas dasar ini, maka dianggap tidak perlu meneliti apakah ayat-ayat
Al Quran itu berasal dari Allah atau bukan. Hal ini berbeda dengan Al hadits,
dari segi datang (al wurud) nya
hadits tidak seluruhnya diyakini berasal dari Nabi, melainkan ada yang berasal
dari selain Nabi.Hal ini disebabkan sifat dari lafal-lafal hadits
yang tidak bersifat mukjizat, juga disebabkan perhatian terhadap penulisan hadits pada zaman
Rosulullah agak kurang bahkan beliau pernah melarangnya; dan juga karena
sebab-sebab yang bersifat politis dan lainnya. Keadaan inilah yang menyebabkan
para ulama seperti imam Bukhori dan muslim yang mencurahkan segenap tenaga, pikiran,
dan waktunya bertahun-tahun untuk meneliti hadits, dan hasil penelitiannya itu
dibukukan dalam kitabnya Shahih Bukhari (810-870)
dan sahih
muslim (820-875).[24]Demikianalah berbagai penelitian yang diberkan para
ahli mengeanai kelebihan dan kekurangan yang terdapat pada masing-masing kitab
tersebut. Hal in hendaknya semakin menyadarkan kepada kita, bahwa betapun
hebatnbya penelitian tersebut tetap memeliki kelemahan, disamping kelebihannya
masing-masing. yang jelas mereka adalah peneliti-peneliti awal dibidang hadis.
Peneliti hadis berikutnya dapat diikuti pada uraian berikut ini:[25]1. Model
H.M Quraish Shihab
Penelitian yang dilakukan
Quraish shihab terhadap hadits menunjukkan jumlahnya tidak lebih banyak
dibandingkan dengan penelitian terhadap Al Quran. Dalam bukunya berjudul Membumikan Al Quran, Quraish shihab
hanya meneliti dua sisi dari keberadaan hadits, yaitu mengenai hubungan hadits
dan Al Quran serta fumgsi dan posisi sunah dalam tafsir. Bahan-bahan penelitian
yang beliau gunakan adalah bahan kepustakaan atau bahan bacaan, yaitu sejumlah
buku yang ditulis para pakar dibidang hadits termasuk pula Al Quran. Sedangkan
sifat penelitiannya adalah deskriptif analitis dan bukan uji hipotesis. Hasil
penelitian Quraish shihab tentang Al Quran menyatakan bahwa Al Quran menekankan
bahwa Rosulullah SAW berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah swt( QS.
16:44).[26]2. Model
Musthafa Al-Siba’iy
Musthafa Al-Siba’iy
yang dikenal sebagai tokoh intelektual muslim dari mesir dan disebut-sebut
sebagai gerakan Ikhwanul Muslimin
penelitian yang dilakukan Musthafa Al Siba’iy dalam bukunya yang bercorak
eksploratif dengan menggunakan pendekatan histiris dan disajikan secara
deskriptif analitis. Hasil penelitian yang dilakukan Musthafa Al Siba’iy antara
lain mengenai sejarah proses yang terjadinya dan tersebarnya hadits mulai dari
Rosul sampai terjadinya upaya pemalsuan hadits dan usaha para ulama untuk membendungnya, dengan melakukan
pencatatan sunah, dibukukanya Ilmu
Mustalah Al Hadits, Ilmu Jarh, dan Al
Ta’dil serta kitab-kitab tentang hadits palsu dan para pemalsu dan
penyebarannya.3. Model
Muhammad Al Ghazali
Muhammad Al Ghazali
yang menyajikan hasil peneltiannya tentang hadits dalam bukunya berjudul al-sunah al-nabawiyah baina ahl al-fiqh wa
ahl al hadits adalah salah seorang ulama alumni universitas Al Azhar mesir
yang disegani di dunia Islam, khususnya Timur Tengah, dan saah seirang penulis
arab yang sangat produktif.[27]Penelitian
yang dilakukan Muhammad Al Ghazali termasuk penelitian eksploratif yaitu membahas,
mengkaji, dan menyelami sedalam-dalamnya berbagai persoalan aktual yang muncul
di masyarakat untuk kemudian diberikan status hukumnya yang berpijak pada
koteks hadits tersebut. Hasil penelitiannya sedemikian rupa, dilanjutkan
menganalisisnya dengan menggunakn pendekatan fiqh, sehingga terkesan ada unsur
pembelaan dan pemurnian agama Islam.Jadi
dapat ditarik kesimpulan bahwa model penelitian hadits adalah ragam atau macam
penelitian yang dilakaukan oleh para peneliti terdahulu sampai sekarang untuk
meniliti kebenran suatu hadits apakah hadis tersebut hadits shahih atau hadits
dho’if, ataukah hadits hasan atau hadits palsu ataukah hadist tersebut mu’alaq seperti yang dilakukan Bukhari
atau Muslim yang kemudian dikaji atau diteliti kembali oleh Quraish Shihab salah
satunya yaitu dengan meneliti dua sisi keberadaan hadis yang pertama, hubungan
hadits dan al-Qur’an keuda,m posisi sunnah (hadits) dalam tafsir. Model
penelitian hadits al-Siba’iy mendapatkan hasil anatara lain mengenai sejarah
proses terjadi dan tersebarnya hadits mulai dari rasullah sampai tejadinya
upaya pemalsuan hadits serta usaha para ulama untuk membendungnnya.C. Model
Penelitian Filsafat Islam
1. Pengertian
Filsafat Islam
Menurut
Harun Nasution, yang dikutip oleh Zuhairini, dkk; filsafat berasal dari kata
yunani “philein” artinya cinta dan “shopos” artinya hikmat. Selanjutnya
beliau menjabarkan sebagai berikut:[28]a. Pengetahuan
tentang hikmah
b. Pengetahuan
tentang prinsip atau dasar-dasar
c. Mencari
kebenaran
d. Membahas
dasar-dasar dari apa yang dibahas
Selain itu
filsafat juga dapat mencari hakikat sesuatu, berusaha menghubungkan sebab
akibat dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Sedangkan Islam
dalam firman Allah QS. Al Baqarah ayat 112, yang artinya:“Barang siapa yang menyerahkan diri
kepada Allah sedangkan ia berbuat kebajikan maka baginya pahala disisi Tuhannya
dan tidak a kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati”.Dengan demikian,
secara umum filsafat islam dapat diartikan sebagai filsafat yang berdasarkan dan
bersumberkan dari ajaran Islam (Al quran dan As-sunah).2. Model-model
Filsafat Islam
a. Model
M. Amin Abdullah
Dalam rangka penulisan
disertasinya, M. amin Abdullah mengambil bidang penelitiannya pada masalah
filsafat Islam. Hasil penelitiannya Ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul The idea of universality ethical norm in
Ghazali and Kant. Penelitian ini mengambil metode penelitian kepustakaan
yang bercorak deskriptif yaitu penelitian yang mengambil bahan-bahan kajiannya
pada berbagai sumber baik yang ditulis oleh tokoh yang diteliti itu sendiri (sumber
primer), maupun sumber yang ditulis oleh orang lain mengenai tokoh yang
ditelitinya itu (sumber sekunder).[29]b. Model Otto Horrassowitz, Majid Fakhry dan Harun
Nasition
Otto
Horrassowitz juga nampaknya meneleliti mengenai tokoh filsafat islam.
Pemikirannya di tujukan kepada pemikiran filasafat islam abad klasik yaitu[30] :1) Dari al-Kindi dijumpai pemikiran filsafat
tentang Tuhan , keterhinggaan, ruh dan akal.
2) Dari al-Razi dijumpai pemikiran filsafat
tentang teologi, moral, metode, metafisika, Tuhan, ruh, materi, ruang, dan
waktu.
3) Dari al-Farabi dijumpai pemikiran filsafat
tentang logika, kesatuan filsafat, teori sepuluh kecerdasan, teori tentang
akal, teori tentang kenabian, serta penafsiran atas al-Qur’an.
4) Dari Ibnu Miskawih dijumpai pemikiran filosafat
tentang moral, pengobatan rohani, dan filsafat sejarah.
5) Dari
Ibnu Sina dikemukakan pemikiran filsafat tgentnag wujud, hubungan jiwa
dan raga, ajaran kenabian, Tuhan dan dunia.
6) Dari Ibnu Bajjah dijumpai pemikiran filsafat
tentang materi dan bentuk, psikologi, akal dan pengetahuan, Tuhan, Sumber
Pengetahuan, politik, etika, dan tasawuf.
7) Dari Ibnu Tufail dikemukakan pemikiran filsafat
tentang akal dan wahyu sebagai yang dapat saling melengkapi yang dikemas dalam
novel fiktifnya berjudul Hay Ibnu Yaqzan yang telah diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia; tujuan risalah, doktrin tentang dunia, tuhan,
kosmologi cahaya, epistomologi, etika, filsafat dan agama.
8) Dari Ibnu Rusyd, dikemukakan pemikiran filsafat
tentang hubungan filsafat dari agama, jalan menuju Tuhan, jalan menuju
pengetahuan, jalan menuju ilmu, dan jalan menuju wujud.
9) Dari Nasir al – Din Tusi dikemukakan pemikiran
filsafat tentnag akhlak nasiri, ilmu rumah tangga, politik sumber filsafat
praktis, psikologi, metafisika, Tuhan, kenabian, baik dan buruk, serta logika.
Selain daripada yang tersebut di atas beliau
juga meneliti tentang riwayat hidup dan karya-karya yang dilahirkan oleh para
tokoh tersebut. Selanjutnya Model penelitian yang serupa juga di lakukan oleh
Majid Fakhri. Dalam bukunya yang berjudul A
History Islamic philosofis yang di terjemahkan oleh Mulyadi Kartanegara
menjadi sejarah filsafat islam. Penelitiannya tersebut nampaknya menggunakan
campuran. Yaitu selain menggunakan pendekatan historis juga menggunakan
pendekatan kawasan, bahkan pendekatan substansi. Melalui pendekatan histories,
ia mencoba meneliti latar belakang munculnya berbagai pemikiran filsafat dalam
islam. Sedangkan dengan pendekatan kawawsan, ia mencoba mengemukakan berbagai
pemikiran filsafat yang dihasilkan dari berbagai tokoh tersebut.[31]Harun Nasution juga menggunakan pendekatan
tokoh dan Historis, beliau mencoba untuk menyajikan pemikiran filasafat
berdasarkan tokoh yang di telitinya dan juga Harun nasution mencoba menyajikan
tentang sejarah timbulnya pemikiran filsafat islam yang di mulai dengan kontak
pertama antara islam dan ilmu pengetahuan serta filafat Yunani.[32] c. Model Ahmad Fuad Al-Ahwani
Ahmad Fuad Al-Ahwani ntermasuk pemikir modern
dari Mesir yang banyak mengkaji dan meneliti bidang filsafat Islam. Salah satu
karyanya dalam bidang filsafat berjudul Filsafat Islam. Dalam bukunya
ini ia selain menyajikan sekitar problem filsafat Islam juga menyajikan tentang
zaman penerjemahan, dan filsafat yang berkembang itu kawasan masyriqi dan
maghribi. Di kawasan maghribi ia kemukakan nama al-Kindi, al-farabi, dan Ibnu
Sina. Sedangkan di kawasan maghribi
kemukakan Ibnu bajjah, Ibnu Tufail dan Ibnu Rusyd. Selain dengan
mengemukakan riwayat hidup serta karya dari masing-masing tokoh filosof
tersebut, juga dikemukakan tentang jasa dari masing-masing filosof tersebut
serta pemikirannya dalam bidang filsafat.[33]Metode penelitian yang ditempuh Ahmad Fuad
Al-Ahwani adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang menggunakan
bahan -bahan kepustakaan. Sifat dan coraknya adalah penelitian deskriptif
kualitatif. Sedangkan penedekatannya adalah pendekatan yang bersifat campuran,
yaitu pendekatan histories, pendekatan kawasan dan tokoh. Melalui pendekatan
historis, ia mencoba menjelaskan latar belakang timbulnya pemikiran filsafat
dalam Islam. Sedangkan dengan pendekatan kawasan ia mencoba membagi tokoh-tokoh
filosof menurut tempat tinggal mereka, dan dengan pendekatan tokoh, ia mencoba
mengemukakan berbagai pemikiran filsafat sesuai dengan tokoh yang
mengemukakannya.[34]pada umumnya penelitian yang dilakukan oleh
para ahli bersifat penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang menggunakan
bahan – bahan bacaan sebagai sumber rujukannya. Metode yang digunakan umumnya
bersifat deskriptif analistis. Sedangkan pendekatan yang digunakan umumnya
pendekatan histories, kawasan dan substansial.[35]Dewasa ini setahap demi setahap pemikiran
filsafat Islam atau berpikir secara filosof sudah mulai diterima masyarakat.
Berbagai kajian di bidang keagamaan selalu di lihat dari segi pemikiran
filosofnya, sehingga makna substansial, hakikat, inti dan pesan spiritual dari
setiap ajaran keagamaan tersebut dapat ditangkap dan dihayati dengan baik.
Tanpa bantuan filsafat, maka masyarakat akan cenderung terjebak kedalam bentuk
ritualistic semata, tanpa tahu apa pesan filosofis yang terkandung dalam ajaran
tersebut. Filsafat juga semakin diperlukan dalam situasi yang semakin memadu
dan menyatu antara satu bidang pengetahuan dengan pengetahuan lainnya.[36]Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwasanya model
penelitian filsafat yang dilakukan oleh para peneliti di atas cendrrung
penelitiannya merupakan penelitian yang bercorak deskriftif analitis dengan
menggunakan pendeketan historis dan tokoh untuk menyajikan berbagai pemikiran
filasafat berdasarakan pemikiran tokoh yang mereka teliti, menyajikan riwayat
hidupnya serta adapula yang menggunakan pendeketan campuran selain pendeketan
historis yaitu pendeketan kawasan dan substansi. Dimana mencoba meneliti
latarbelkang munculnya filasfata dalam islam (segi historis), mengelompokkan
para filosof ke dalam kelompok Timur dan barat.D. Model Penelitian Pendidikan
Islam
Dilihat dari segi obyek kajiannya Ilmu Pendidikan dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama ada pengetahuan ilmu yaitu pengetahuan tentang hal-hal atau obyek-obyek yang empiris, diperoleh dengan melakukan penelitian ilmiah, dan teori-teorinya bersifat logis dan empiris. Pengujian teorinya pun diukur secara logis dan empiris. Bila logis dan empiris, maka teori ilmu itu benar, dan inilah yang selanjutnya disebut science. Kedua, pengetahuan filsafat yaitu pengetahuan tentang obyek-obyek yang abstrak logis, diperoleh dengan berfikir, dan teori-teorinya bersifat logis dan hanya logis (tidak empiris). Kebenaran atau kesalahan teori filsafat hanya diukur dengan logika; bila logis dinilai benar; bila tidak maka salah. Bila logis dan ada bukti empiris, maka teori itu bukan teori filsafat, melainkan teori ilmu (sains). Ketiga, pengetahuan mistik yaitu pengetahuan yang obyek-obyeknya tidak bersifat empiris, dan tidak pula terjangkau oleh logika. Obyek pengetahuan ini bersifat abstrak, supra logis. Obyek ini dapat diketahui melalui berbagai cara, misalnya dengan merasakan pengetahuan batin, dengan latihan atau cara lain. Pengetahuan kita tentang yang gaib, diperoleh dengan cara ini.[37] Dari ketiga macam pengetahuan tentang pendidikan Islam
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan (ilmu) pendidikan Islam
terdiri dari pengetahuan filsafat pendidikan, tasawuf (mistik) pendidikan dan
ilmu pendidikan. Filsafat dan tasawuf terkadang disebut ilmu, padahal secara
akademis keduanya itu bukan ilmu tapi pengetahuan, karena yang disebut ilmu
harus bersifat empiris dan memiliki ciri-ciri ilmiah. Dengan demikian jika
disebutkan Ilmu Pendidikan Islam, maka cakupannya ialah masalah-masalah yang
berada dalam dataran ilmu (sains), yaitu obyek-obyek yang logis dan empiris
tentang pendidikan.[38] Pendidikan
Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang mendapat banyak perhatian
dari para ilmuwan. Berbagai model penelitian yang berkaitan dengan pendidikan
Islam telah dilakukan, antara lain sebagai berikut[39]:
1. Model Penelitian
tentang Problema Guru
Dalam usaha memecahkan problema guru, Himpunan Pendidikan Nasional
(National Education Association) di Amerika Serikat pernah mengadakan
penelitian tentang problema yang dihadapi guru secara nasional pada tahun 1968.
Prosedur yang dilakukan dalam penelitian tersebut, yaitu dengan pengumpulan
data yang dilakukan oleh bagian Himpunan Pendidikan Nasional (National
Education Association) melalui survey pendidikan umum guru (opinion
survey for teacher) pada musim semi tahun 1966. Kuesioner yang dibuat
terdiri dari tujuh belas macam pertanyaan tentang problema guru yang
potensial. Data yang terkumpul dari kuesioner itu dijadikan landasan
analisis. Dengan demikian, penelitian tersebut dari segi metodenya termasuk
penelitian survey, yaitu penelitian yang sepenuhnya didasarkan pada data yang
dijumpai di lapangan, tanpa didahului oleh kerangka teori, asumsi atau
hipotesis. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah dijumpainya
lima aspek pokok yang menyangkut kondisi dan kompensasi tugas mengajar guru.
Adapun lima aspek pokok (top ranking aspect) tersebut, yaitu:[40]a.
waktu untuk istirahat dan untuk persiapan pada
waktu dinas di sekolahb.
Ukuran kelas yang terlalu besar
c.
Kurangnya
bantuan administrative
d.
Gaji yang kurang memadaie.
Kurangnya bantuan kesejahteraan Di antara problema-problema tersebut, problema nomor satu yaitu
sedikitnya waktu untuk istirahat dan untuk persiapan pada waktu dinas di
sekolah merupakan problema yang mendapatkan persentase terbesar sebagai
problema mayor.[41] 2.
Model Penelitian
tentang Lembaga Penelitian Lembaga pendidikan Islam
adalah wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam yang
berlangsung bersama dengan proses pembudayaan. Kepentingan dan keutamaan
keluarga sebagai lembaga pendidikan Islam diisyaratkan dalam Al-Qur’an. Perintah untuk menjaga dan
memelihara diri, kaum keluarga dari kesengsaraan dan api neraka. Sejak masuk dan berkembangnya Islam di
Indonesia lembaga pernikahan dan keluarga memegang peranan yang penting dalam
proses pendidikan Islam. Pendidikan dalam keluarga tersebut didasari oleh
nilai-nilai dan norma-norma, budaya Islam melalui pendidikan dalam keluarga itu
suatu generasi menghasilkan generasi berikutnya yang memiliki kualitas yang
lebih tinggi. Peranan pendidikan yang sentral tersebut semakin luas memerlukan
adanya wadah yang menampungnya. Wadah biasanya untuk menampung adalah masjid
atau surau. Kemudian menjadi lembaga pendidikan yang potensial sebagai lembaga
pendidikan dasar.[42] Dalam ajaran Islam
adalah wajib untuk mendirikan lembaga pendidikan lanjutan. Maka terbentuknya
pesantren yang kemudian berpengaruh dan bersaing dengan sistem pendidikan Barat
yang diperkenalkan oleh pemerintah Belanda, timbullah sistem pendidikan terpadu
antara sekolah umum dan madrasah. Salah satu penelitian yang berkenaan dengan
lembaga pendidikan Islam adalah penelitian Karel A. Steenbrink dalam bukunya
berjudul Pesantren, Madrasah, dan Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern yang diterbitkan oleh LP3ES, Jakarta pada tahun 1968. Metode
penelitian yang dilakukannya adalah pengamatan (observasi). Sedangkan objek
pengamatannya adalah sejumlah pesantren yang ada di Jawa dan Sumatera. Melalui
analisis historis yang dipadu dengan pendekatan komparatif, Karel A. Steenbrink
menyimpulkan bahwa dibandingkan dengan Malaysia, maka jelaslah pesantren di
Indonesia melalui beberapa pembaharuan tetap berusaha memberikan pendidikan
Islam yang juga memenuhi kebutuhan pendidikan sesuai dengan zamannya. Sistem
pondok pesantren di Malaysia bersifat lebih defensif dan kurang bisa
menyesuaikan diri dengan zaman modern. Pada bagian lain hasil penelitian itu,
Steenbrink mengatakan bahwa sejak permulaan tahun 1970-an ternyata beberapa
organisasi Islam mengalami depolitisasi, yaitu melepaskan diri dari politik
praktis dan politik partai serta lebih mementingkan cita-cita asli sebagai
organisasi yang bergerak dibidang dakwah dan pendidikan.[43] 3.
Model Pendidikan Kultur Pendidikan Islam Untuk mengenal model penelitian yang dilakukan
oleh kedua peneliti ini dapat dikemukakan sebagai berikut[44]:
a.
Model Penelitian Mastuhu Penelitian
yang bertemakan kultur pendidikan Islam yang ada di pesantren dilakukan Mastuhu
pada saat menulis disertasi untuk program doctor berjudul Dinamika Sistem
Pendidikan Pesantren yang diterbitkan oleh Indonesian Netherlands
Cooperation in Islamic Studies (INIS) pada tahun 1994. Penelitian tersebut
dituangkan dalam lima bab, yaitu pendahuluan yang berisikan tinjauan pustaka,
bab isi berisikan kerangka berfikir, metode, hasil pembahasan, dan bab akhir
mengenai kesimpulan dan saran. Objek penelitian yang dilakukan ialah Pondok
Pesantren An-Nuqayah di desa Guluk-Guluk, Sumenep (Madura), Pondok Pesantren
Salafiyah Ibrahimiyah di desa Sukorejo, dan Pondok Pesantren Blok Agung di
Banyuwangi.[45] b.
Model Penelitian Zamakhsyari Dhofier Model penelitian yang
dilakukan Zamakhsyari Dhofier masih di sekitar pesantren. Penelitian yang
dilakukan berjudul “Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai” yang
telah diterbitkan oleh LP3ES pada tahun 1982. Model penelitian yang dilakukan
ini tidak menyebutkan secara eksplisit tentang latar belakang pemikiran,
tujuan, ruang lingkup, metode dan pendekatannya, sebagaimana lazimnya sebuah
penelitian. Namun jika dipelajari secara seksama tampak berbagai unsur yang ada
dalam penelitian dijumpai dalam masalah ini. Penelitian ini berdasarkan studi
lapangan, yaitu dua buah lembaga pesantren. Kedua pesantren itu adalah
pesantren Tegal Sari dan pesantren Tebu Ireng. Pesantren Tegal Sari
didirikan pada tahun 1870 di Kelurahan Sidoharjo, Kecamatan Susukan, Kabupaten
Semarang Jawa Tengah. Pesantren Tebu Ireng didirikan pada tahun 1899 di
Kelurahan Cukir, 8 kilometer sebelah tengggara kota Jombang, Jawa Timur.[46] Dalam bukunya, Zamakhsyari mengatakan bahwa pada umumnya studi
tentang Islam di Jawa selama ini menitikberatkan analisisnya pada segi
pendekatan intelektual dan pendekatan teologi sehingga sering memberikan
kesimpulan yang meleset. Zamakhsyari berusaha menunjukkan sumbangan pendekatan
sosiologis dalam usaha memahami Islam di Jawa secara lebih tepat. Pendekatan
sosiologis akan mengurangi kecenderungan menarik kesimpulan yang terlalu cepat.
Dibagian lain Zamakhsyari mengemukakan bahwa penelitian ini bersifat deskriptif
analitis. Akan tetapi, analisis yang dilakukannya tidak dimaksukan untuk
menghasilkan proposisi-roposisi teoritis tertentu tentang tradisi pesantren dan
paham Islam tradisional di Jawa. Analisis tersebut dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa data etnografis yang lebih banyak lagi dan analisis yang
lebih imajinatif masih sangat diperlukan untuk dapat lebih memahami masyarakat
dan kebudayaan manusia. Dengan metode ini dapat dihasilkan deskripsi atau
uraian secara utuh dan menyeluruh tentang objek penelitian yang ditetapkan
dengan didukung oleh data-data dari lapangan. Dengan analisis dapat dilakukan
upaya identifikasi, kategorisasi yang selanjutnya dihasilkan kesimpulan yang
dapat mengambil bentuk teori atau hipotesis. Analisis yang dilakukan
Zamakhsyari tidak dimaksudkan untuk membangun sebuah teori, tetapi hanya
sekedar untuk menjelaskan inti gagasan atau kondisi batin yang dapat dipahami
dari fenomena empiris yang dapat diamati.[47]Jadi model penelitian
pendidikan islam adalah bentuk-bentuk usaha yang dilakukan para peneliti yang
tersistematis untuk menemukan jawaban atau memberikan jawaban ilmiah terhadap
maslah-masalah pendidikan islam yang berkisar pada pendidik seperti problem
guru, peserta didik, di dalam lingkungan sekoalah, lembaga pendidikan, kultur
pendidikan dan komponen-komponen lainnya. Kesimpulan Model penelitian tafsir adalah ragam penelitian yang dilakukan
secara ilmiah, sistematis, serta seksama terhadap penafsiran al-quran yang
pernah dilakukan oelh orang-orang terdahulu hingga sekarang untuk mengetahui
atau memahami secra hakiki atau pasti tentang hal-hal yang masih dalam konteks
pembahasan yang terdapat di dalam Al-Quran dengan menggunakan pendeketan
pendeketan serta metode-metode dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quaran seperti;
metode ijmaly, metode muqarin, metode mawadhu’i. Seperti model penelitian
tafsir Quraish Shihab, asy-Syarbashi, Muhammad al-Ghazali. Model penelitian hadits adalah ragam
atau macam penelitian yang dilakukan oleh para peneliti terdahulu sampai
sekarang untuk meniliti kebenran suatu hadits apakah hadis tersebut hadits
shahih atau hadits dho’if, ataukah hadits hasan atau hadits palsu ataukah
hadist tersebut mu’alaq seperti yang
dilakukan Bukhari atau Muslim yang kemudian dikaji atau diteliti kembali oleh
Quraish Shihab salah satunya yaitu dengan meneliti dua sisi keberadaan hadis
yang pertama, hubungan hadits dan al-Qur’an keuda,m posisi sunnah (hadits)
dalam tafsir. Model penelitian hadits al-Siba’iy mendapatkan hasil anatara lain
mengenai sejarah proses terjadi dan tersebarnya hadits mulai dari rasullah
sampai tejadinya upaya pemalsuan hadits serta usaha para ulama untuk
membendungnnya.Model-model penelitian filsafat islam:1. Model Amin Abdullah, penelitiannya kepustakaan
deskriftif, diklasfikasikan variable yang ingin ditelitimya, diuji keontentikan
secara seksama, dibandingkan anatara setiap sumber, dianalisis, kemudian
disimpulkan.
2. Model penelitian yang serupa juga di lakukan
oleh Majid Fakhri. Penelitannya tersebut nampaknya menggunakan pendekatan
campuran. Yaitu selain menggunakaan historis juga menggunakan pendektan kawasan,
bahkan pendeketan substansi.
3. Model harun nasution, penelitiannya menggunakan
pendeketan para tokoh.
Berbagai model penelitian yang berkaitan dengan pendidikan islam
telah dilakukan, antara lain sebagai berikut:1. Model Penelitian tentang Problema Guru 2. Model
Penelitian tentang Lembaga Penelitian 3. Model Pendidikan Kultur Pendidikan
Islam.
Daftar Pustaka Annur, Saipul.2008. Metodologi
Penelitian Pendidikan. Palembang: IAIN Raden Fatah Press.cet.ke2.
Nata, Abudin.2008. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Oviyanti, Fitri.2014. Metodologi Studi Islam. Palembang: Noer Fikri Offset.cet. ke3. Sirojudin Iqbal, Mashuri dan A.
Fudlali.1987. Pengantar Ilmu Tafsir.
Bandung: Angkasa. http://abiavisha.blogspot.com/2013/02/model-penelitian-keagaman.html.
diakses pada tanggal 11 Februari 2013.
http://blogtgkwagub.blogspot.com/2013/01/makalah-studi-islam.html
diakses pada tanggal 9 Januari 2013.
http://teukuamnar.blogspot.com/2012/12/model-model-penelitianfilsafat.html.
diakses pada tanggal 21 Desember 2013.
Dilihat dari segi obyek kajiannya Ilmu Pendidikan dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama ada pengetahuan ilmu yaitu pengetahuan tentang hal-hal atau obyek-obyek yang empiris, diperoleh dengan melakukan penelitian ilmiah, dan teori-teorinya bersifat logis dan empiris. Pengujian teorinya pun diukur secara logis dan empiris. Bila logis dan empiris, maka teori ilmu itu benar, dan inilah yang selanjutnya disebut science. Kedua, pengetahuan filsafat yaitu pengetahuan tentang obyek-obyek yang abstrak logis, diperoleh dengan berfikir, dan teori-teorinya bersifat logis dan hanya logis (tidak empiris). Kebenaran atau kesalahan teori filsafat hanya diukur dengan logika; bila logis dinilai benar; bila tidak maka salah. Bila logis dan ada bukti empiris, maka teori itu bukan teori filsafat, melainkan teori ilmu (sains). Ketiga, pengetahuan mistik yaitu pengetahuan yang obyek-obyeknya tidak bersifat empiris, dan tidak pula terjangkau oleh logika. Obyek pengetahuan ini bersifat abstrak, supra logis. Obyek ini dapat diketahui melalui berbagai cara, misalnya dengan merasakan pengetahuan batin, dengan latihan atau cara lain. Pengetahuan kita tentang yang gaib, diperoleh dengan cara ini.[37]
[1] http://abiavisha.blogspot.com/2013/02/model-penelitian-keagaman.html. diakses pada tanggal 11 Februari 2013.
[24] Abudin Nata, Op.cit. hlm. 237-238.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar